Darah dan Bunga Katsuna
1.
Bunga katsuna
mulai muncul dalam wujud beberapa kuntum. Pot bunga yang tampak kekurangan
tanah itu masih tetap bisa berbunga. Bunga merah pekat itu ditanam dalam pot
kecil di balkon jendela lantai dua, bukan hanya satu pot melainkan beberapa pot
berjejer di jendela kamar. Sepertinya pemilik rumah ini menyukai bunga,
pikir Risa yang sedang berdiri di dalam kamar Sakaji.
Suara plastik
terdengar dari gudang rumah ala jepang itu, dia berjalan menghampiri asal suara
yang menganggunya.
Risa melotot terkejut, “Apa yang senior lakukan?”.
Yang ditanya tidak menjawab dan masih fokus pada kegiatan mengorek kardus
berisi plastik.
“Ketemu!”, laki-laki tua berambut putih itu mengangkat
sebuah amplop merah terang bertuliskan Banquet. Kepuasaan terpampang
jelas di wajah keriput laki-laki itu. Pakaian kusutnya membuat Risa menyeringit,
lagi-lagi ia datang tanpa persiapan. Laki-laki tua itu adalah Jiro, senior Risa
yang merupakan detektif lapangan selama 40 tahun, tapi anehnya tidak ada yang
menghormati Jiro, hanya Risa yang masih mau berhadapan dengannya meskipun
sering kali Risa merasa kesal dengan kebiasaan Jiro yang jorok.
Risa mendekat ke arah Jiro yang
sedang membaca isi amplop merah itu dengan dahi berkerut. “Apa itu?“, tanyanya.
“Ini adalah undangan perjamuan teh 3
hari yang lalu dan kau tau apa yang mengejutkan?” Jiro menatap lekat mata Risa.
Risa menaikkan sebelah alisnya menunggu jawaban.
“Undangan ini ditujukan untuk
Sakaji, mayat yang tergeletak di rumah ini 3 hari yang lalu.”
Risa terkejut
bukan main Ketika mengetahui hari undangan dan waktu kematian Sakaji berada di
hari yang sama.
Perempuan itu memjit pelipisnya lalu menatap Jiro, “Hari
senin?”.
Jiro mengangguk yakin, dia menepuk pelan pundak Risa,
“Tapi surat undangan ini terlihat diketik asal. Aku yakin tak lama lagi kita
akan menemukan jawabannya.”, ucap Jiro kemudian bergegas keluar dari gudang
berdebu itu.
Risa dan Jiro
menuruni tangga menuju ruang tamu lantai satu, disana terlihat dua orang
penyidik sedang memotret setiap sudut ruangan rumah Sakaji dan seorang perempuan
yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan sendu ke arah langit-langit
rumah, tepat di atas sofa merah tua. Merasa dihampiri, Perempuan itu menurunkan
pandangannya dan menatap lurus ke Risa dan Jiro.
Senyum tipis terbentuk di bibirnya, “Saya hanya ingin
melihat-lihat.”. Perempuan itu berbicara seakan tahu apa yang ingin ditanyakan
kedua detektif itu.
Pada dasarnya orang yang bukan
merupakan bagian keluarga atau orang yang diundang ke TKP untuk membantu
penyelidikan tidak diperbolehkan masuk.
“Bolehkah saya tahu siapa anda?”
tanya Jiro dengan wajah datarnya.
Perempuan tinggi itu menundukkan kepalanya sedikit, “Saya
Wakana, kakak perempuan Sakaji.”.
Perkenalan singkat
itu cukup mengejutkan Risa dan Jiro. Sejak mayat Sakaji ditemukan tergantung di
ruang tamu, tidak ada satupun keluarga atau teman yang bisa dihubungi oleh
pihak kepolisian. Risa melirik ke arah jiro sebentar, laki-laki itu hanya
menatap Wakana tanpa mengedipkan mata, Risa tau kebiasaan laki-laki itu jika
sudah mencurigai seseorang dia akan menatap tanpa henti dengan pikirannya.
2.
Wakana menyeka air
matanya yang mulai membanjiri pipinya, “Sewaktu Sakaji masih hidup, dia tidak
pernah sekalipun bersikap kasar pada orang, saya yakin tidak akan ada orang
yang dengan teganya membunuh adik saya tanpa alasan.”
Risa mengerutkan
dahi mendengar pernyataan Wakana.
“Bagaimana anda bisa tahu bahwa adik
laki-laki anda sudah meninggal?” tanya Risa.
Wakana menoleh ke sebelah
kanan, tepat arah jendela yang mengarah pada halaman rumah. Risa dan Jiro
mengikuti pandangan mata Wakana, di luar terlihat banyak sekali tanaman bunga
katsuna merah sehingga pantulan kaca menerangi lantai-lantai ruang tamu.
“Nona Wakana?”, panggil Risa Ketika
Wakana belum menjawab pertanyaannya.
Perempuan itu
menoleh terkejut, “Ah maaf, tiba-tiba saya teringat adik saya.”. Risa
mengangguk paham mendengar hal itu.
“Bisakah anda menjawab pertanyaan
tadi?”, Jiro masih mengharapkan sebuah jawaban.
“Saya mendapatkan telepon dari seorang
laki-laki, Namanya Gaki, dia adalah tetangga di samping rumah ini.” Jawab
Wakana.
Jiro menggaruk
dagunya, “Bagaimana dia memberitahu anda, maksud saya, darimana dia tahu bahwa
ada orang yang meninggal di rumah ini?”
Wakana tersenyum
tipis, “Saya tidak menanyakan hal itu padanya, maaf.”
Risa memberikan
satu botol vitamin energi yang selalu dia bawa kepada wakana, terbesit perasaan
kasihan ketika melihat tubuh kurus wakana. Risa yakin mereka bukanlah orang
berada. Sebelum wakana menolak, Risa terlebih dahulu menyampaikan niatnya,
“Tolong terimalah, saya yakin anda akan dimintai
keterangan oleh polisi selama beberapa hari ke depan, jadi tolong jaga
kesehatan anda.”
Genggaman Wakana
pada botol yang diberikan Risa sangat erat, seakan hidupnya hanya bergantung
pada botol itu. Wakana menatap Jiro, dia tidak menyukai tatapan laki-laki yang
sejak tadi tatapannya terasa menusuk.
Seakan Jiro sadar
kehadirannya membuat Wakana tidak nyaman, Jiro berdiri lalu pamit pergi ke
halaman rumah Sakaji. “Saya masih harus mencari bukti TKP, sampai jumpa minggu
depan, Nona Wakana.”. Wakana mengangguk paham.
Wakana menatap
punggung Jiro sampai laki-laki itu tidak terlihat, Risa masih menatap perempuan
itu.
“Saya tahu kalian
mencurigaiku.” Ucap wakana yang membuat Risa terkejut hebat.
Risa berdehem
canggung, dia ketahuan. “Mohon jangan salah paham, kami tidak berani
menyimpulkan tanpa bukti.”. Wakana tersenyum lalu sedetik kemudian wajahnya
berubah kaku.
“Hari ini adalah
kedua kalinya saya berkunjung ke rumah sakaji.” Wakana menatap botol dari Risa.
Risa merasa heran,
bagaimana mungkin seorang kakak jarang mengunjungi adiknya.
“Lalu?” Tanya Risa.
“Saya tidak pernah
melihat sakaji menanam bunga katsuna. Rumah ini terasa sangat berbeda, seakan...”,
Wakana tidak menyelesaikan ucapannya, dia terlihat ragu.
Risa merasakan
tubuhnya merinding ketika melihat wajah Wakana yang terlihat semakin pucat,
bahkan mata Wakana yang tadinya sendu menjadi tidak fokus. Mengapa matanya
menunjukan dia panik?, batin Risa. Dia mulai tidak nyaman dengan lawan
bicaranya.
“Nona wakana?”
Risa berusaha mengembalikan kesadaran Wakana, perempuan di depannya terlihat
seperti orang yang berbeda.
Brukkk..
Wakana jatuh
pingsan dengan pelipis yang penuh keringat.
“Nona!!”, panggil Risa
panik. Semua orang yang mendengar teriakan panik Risa langsung menghampiri,
termasuk Jiro.
3.
Risa duduk di meja
kerjanya dengan pikiran kalut, berbeda dengan Jiro yang sedang menikmati
cokelat kesukaannya di samping Risa. Awalnya Risa mencurigai Wakana, tapi dia
melihat celah bagaimana Wakana sendiri juga merasa janggal. Namun, pernyataan
Wakana mengenai Sakaji saat di ruang tamu lebih aneh lagi.
“Aneh, pasti ada sesuatu.”, gumam kecil Risa namun
masih bisa didengar Jiro.
Laki-laki itu menghela napasnya frustrasi, “Sebenarnya
apa yang menurutmu aneh?”
Risa menoleh, “Nona Wakana mengatakan kondisi rumah
sekarang sangat berbeda dengan pertama kali dia menunjungi Sakaji.”
“Apa yang aneh, rumahku juga sudah berubah
dibandingkan satu tahun yang lalu.”, Jiro menatap Risa dengan heran.
“Saya tahu, tetapi yang aneh adalah bagaimana Nona Wakana
menjelaskannya. Dia tampak panik padahal aku tidak memaksanya.” Risa menggigit
jarinya, kebiasaan Risa ketika ada sesuatu yang menganggunya.
“Hm.. dia langsung pingsan. Apakah ada lanjutannya?”
Jiro semakin mengerti kekhawatiran Risa.
“K-kalimat terakhir sebelum nona wakana pingsan adalah
seakan. Saya tidak paham.”, balas Risa.
“Seakan..”, Jiro menerka-nerka.
“Kita harus segera menemuinya.” Risa berdiri. Jiro
menatapnya dengan mata lelahnya.
“Ayolah, ini sudah pukul 10 malam.”, Jiro yang sudah
malas memilih untuk berbaring di kursi kerjanya.
“Jika kita tidak segera menanyakan nona wakana, kita
tidak akan menemui titik terang.”, jelas Risa yang membuat Jiro menyerah.
“Ambil kunciku, aku malas menyetir.”, Jiro berjalan
mendahului Risa.
…….
Sesampainya mereka
di rumah sakit tempat wakana dirawat, Risa dan Jiro langsung mencari kamar Wakana.
Sebenarnya, dibenak Jiro sudah mencurigai seseorang, tapi perilaku Wakana
selalu menimbulkan celah bagi Jiro untuk mencurigainya. Jiro mengabaikan sikap
praktisnya karena juniornya tampak bersemangat dengan kasus ini.
Tok..tok..tok..
“Masuk.”, setelah mendapatkan izin dari Wakana, Risa
dan Jiro memasuki kamar VIP Wakana.
“Maaf saya tidak bisa menyambut kedatangan kalian.”,
ucap Wakana. Perempuan itu terlihat pucat.
“Maaf kami menganggu, apakah anda keberatan apabila
kita mengajukan beberapa pertanyaan mengenai Sakaji?”, tanya Risa.
Wakana mengangguk, “Saya senang membantu anda.
Duduklah.”
Kini Risa dan Jiro
duduk di sebelah ranjang Wakana.
Risa menegakkan
tubuhnya, “Apakah anda ingat kata terakhir sebelum anda pingsan? Saya harap anda
bisa melanjutkan pembicaraan itu.”
“Saya hanya menganggap rumah Sakaji terasa sangat
janggal. Sebelumnya rumah itu tampak kosong, bahkan rumput halaman depan juga
tidak pernah Sakaji rawat, tapi ketika hari ini saya datang, rumah itu seakan
berubah total.” Terang Wakana dengan mata curiganya. Jiro menutup bibirnya yang
menahan senyum.
“Apa asumsi anda?” Tanya Jiro pada Wakana.
Wakana terdiam
sejenak seakan ragu menjawab, dia mengehela napas. “Saya tidak tahu.”
Mendengar hal itu,
Jiro dan Risa tampak kecewa akan jawaban Wakana.
“Pertanyaan terakhir. Apakah Sakaji adalah laki-laki
yang menyukai bunga?”
Wakana menggeleng
dengan cepat, “Sama sekali tidak. Saat kami sekeluarga tinggal bersama, Sakaji
sangat malas untuk merawat bunga amarilis kesayangan ibu di halaman kami.”
“Di mana keluarga anda sekarang?” Tanya Risa.
“10 tahun yang lalu ibu menelantarkan kami, saya tidak
tahu kabar mereka lagi sejak saat itu. Sedangkan ayah saya sudah menginggal
saat sakaji baru lahir.”, Wakana mencengkram tangannya pelan.
“Baiklah, terimakasih atas jawaban anda, istirahatlah
yang cukup.” Risa dan Jiro membungkuk sebelum pergi.
Diperjalanan
menuju kantor, Risa yang sedang menyetir sesekali mencuri pandang kearah Jiro.
“Fokuslah menyetir atau kita berdua akan menyusul Sakaji.”,
ucap Jiro ketika sadar apa yang Risa lakukan.
Risa mendengus, “Apa pendapatmu, senior?”
Jiro menyenderkan
kepalanya. “Ini sangat menarik, mungkin hantu.”
Risa menghela
napas, dia tahu Jiro adalah senior yang aneh tetapi dia tidak menyangka di saat
seperti ini Jiro masih bisa menganggapnya tidak serius. Setelah hening beberapa
saat, ucapan Jiro selanjutnya mampu membuat Risa melotot, lagi-lagi sekujur
badannya merinding,
“Ada orang lain yang tinggal di rumah Sakaji.
Mengingat Sakaji sudah memasuki umur awal 30, mungkin dia tinggal bersama
seorang perempuan.”, Jelas Jiro menatap ke luar jendela mobil.
Lampu merah menghentikan mobil, Risa berpikir keras
sembari menutup matanya berusaha menyusun semua kemungkinan yang terjadi.
Perkataan Jiro membuat sebuah sisi pendapat baru yang bahkan belum pernah
terpikirkan oleh dia.
“Tapi saat penyelidikan TKP, tidak ada barang
perlengkapan perempuan. Jika menurut senior yang tinggal bersama Sakaji adalah
perempuan, lalu bagaimana menjelaskannya?”
“Besok akan aku jelaskan.”
4.
Risa memasuki
rumah Sakaji, pembatas kuning masih dengan rapi terpasang di sekeliling pagar.
Dia menenteng sebuah amplop berlogo kepolisian. Bunga merah, batin Risa.
“Risa!”, panggil Jiro.
Risa berjalan
menghampiri laki-laki itu dengan wajah heran, “Ada apa?”.
“Aku menemukan kuku palsu di dalam pot bunga.”, Jiro
menunjukan temuannya pada Risa.
Risa seakan mendapatkan pencerahan, “Kuku palsu merah,
bunga merah, dan sofa merah.”.
Jiro melirik tangan
Risa, “Benar. Bagaimana hasil laporan sidik jari?”
Risa mengeluarkan
selembar kertas dari amplop cokelat itu lalu memberikannya pada Jiro. Ketika
pertama kali Risa mengetahui isi laporan itu, dia langsung teringat akan
perkataan Jiro di dalam mobil. Semua perkataan seniornya dengan laporan yang
saat ini dibaca Jiro sangat selaras. Dalam laporan tertulis bahwa terdapat
ratusan jejak kaki dan sidik jari di setiap sudut rumah Sakaji. Namun, ratusan
sidik jari yang bertimpaan dengan sidik jari Sakaji terbukti adanya usaha untuk
menghapus bukti kehadiran orang lain selain Sakaji. Jejak kaki yang ditemukan
lebih kecil dibandingkan dengan ukuran kaki Sakaji, hal itu memastikan jejak
tersebut adalah milik seorang perempuan.
“Jadi, ini bukan
bunuh diri melainkan pembunuhan. Lalu bagaimana caranya pelaku mengikat
Sakaji?”, tanya Risa pada Jiro.
“Itu yang harus
kita tanyakan pada Nona Wakana.”
Risa semakin tidak
mengerti arah pembicaraan Jiro. “Bisakah senior menjelaskan lebih rinci?”
“Begini, apakah
kamu ingat perkataan Nona Wakana saat aku bertanya apakah Sakaji menyukai
bunga? Nona Wakana mengatakan Sakaji tidak menyukai bunga dan bahkan malas
merawat bunga kesayangan ibunya. Lalu, bunga yang disebutkan sebagai bunga
kesayangan ibunya adalah bunga amarilis, bunga itu juga bewarna merah.”, jelas
Jiro panjang lebar.
Risa terkejap, “Jadi pelakunya adalah Ibu
Sakaji sendiri?”
“Tidak salah dan
tidak benar juga.”, lagi-lagi jawaban Jiro membuat Risa bertanya-tanya.
Jadi dari
awal siapa yang dicurigai senior?, Risa menatap jiro dengan tidak percaya, bagaimana bisa senior itu
menutup mulutnya sampai sekarang.
Selang beberapa hari, penyelidikan mendalam dan hasil
laporan telah mencapai akhir. Pelaku yang selama ini ditebak oleh Jiro ternyata
benar, Wakana, kakak dari Sakaji. Semua perkataan yang dia katakan mengenai
bunga kesukaannya ibunya tidak memiliki dasar, dan Wakana akhirnya mengakui
bahwa semua hal yang dia ceritakan pada Risa dan Jiro adalah alibi yang dia
buat agar kecurigaan kedua detektif itu akan beralih pada ibunya yang bahkan
dia sendiri tidak tahu keberadaanya.
Alasan seorang Wakana membunuh Sakaji adalah karena
dia menganggap Sakaji salah satu alasan dari hancurnya keluarga mereka. Sakaji
adalah kesayangan orang tua mereka, namun, perlakuan Sakaji menjadi semena-mena
pada Wakana. Munculnya konflik batin timbul akibat rasa pilih kasih yang
diberikan oleh kedua orang tuanya. Ketika ditanya oleh Risa bagaimana Wakana
menggantung Sakaji, Wakana mengatakan Sakaji memiliki kebiasaan menggunakan
obat tidur skala normal namun dapat membuat tubuhnya mati rasa, bahkan
kepolisian awalnya menganggap obat itu digunakan Sakaji agar tidak merasakan
sakit ketika tubuhnya digantung. Wakana bahkan tertawa ketika menceritakan
bagaimana Sakaji berusaha membuka matanya dengan tubuh yang tidak berdaya
akibat pengaruh obat.
“Dia tidak bisa melawan, dia tidak bisa menjerit, dan
dia tidak bisa memukulku seperti biasanya.”, ucap Wakana ketika dimintai
keterangan.
Hingga akhirnya, Wakana adalah seorang pembunuh yang sama sekali tidak merasa bersalah. Dia tersenyum bahkan ketika hidupnya akan terkunci dibalik jeruji besi.
By: Fransisca Wijaya
Cerpen Misteri
0 Response to "Darah dan Bunga Katsuna"
Posting Komentar