Lembur
LEMBUR
Namaku
Satria. Terjaga semalaman bukan hal yang sulit untukku. Dulu, saat aku bekerja
di call center aku terbiasa kerja lembur shift malam. Waktu itu
aku sangat ingat di hari Minggu malam aku harus piket shift tiga. Hari
itu aku merasa tidak ada yang aneh, badanku juga terasa sehat karena pada siang
harinya aku sudah tertidur pulas.
Aku
sampai di kantor jam 19.00 malam. Setelah aku buka gerbang kantor yang tidak
terkunci, ada dua orang satpam di pos jaga sedang menonton televisi. Langsung
kusapa mereka,
“Malam Pak…” Tidak ada jawaban.
Kusapa sekali lagi “Malam Pak…” Tetap tidak ada jawaban.
Aneh,
biasanya mereka sangat ramai saat menonton televisi dan selalu menyapaku lebih
dulu. Kupikir tidak ada masalah dengan itu, “Mungkin mereka sedang kelelahan
atau bosan.” pikirku.
Sedikit
kujelaskan, kantorku terletak di sebuah bangunan besar, lima lantai, dan diisi
oleh beberapa perusahaan. Aku langsung masuk ke lobby utama lewat pintu kecil
yang memang dibuat khusus karyawan yang bekerja diluar kerja jam normal. Pintu
ini bisa diakses menggunakan kartu Radio Frequency Identification (RFID)
yang aku miliki. Biasanya, lobby utama memang sepi kalau malam apalagi ini hari
Minggu. Perusahaan lain jarang berkegiatan di hari Minggu.
Aku
langsung naik ke lantai tiga menggunakan lift. Sesampainya aku di lantai tiga,
kulihat lampu kantor sudah menyala tandanya sudah ada orang yang masuk ke dalam
kantor. Sambil menempelkan jariku di mesin fingerprint yang ada di front
desk, aku mengecek ruangan yang hanya dibatasi dengan pintu kaca otomatis
yang tebal dan besar. Ternyata benar, temanku Amin sudah standby di meja
kerjanya.
Hari
itu hanya kami berdua yang bertugas shift malam. Meja kerja Amin tepat
berada di depan meja kerjaku, jarak dari satu meja ke meja yang lain sekitar
tiga meter dan dibatasi kaca yang cukup tebal yang terpasang di masing-masing
depan meja. Dari mejaku, aku dapat melihat Amin dengan jelas. Samping kanan dan
kiri meja disekat menggunakan papan kayu yang cukup tebal. Satu hal yang paling
kubenci dari meja itu adalah tidak ada penyangga kayu dibagian bawah yang dapat
diinjak sehingga jika duduk terlalu lama pasti terasa pegal.
Waktu
itu kulihat sepertinya Amin sudah mulai online karena dia sudah
menggunakan headphone-nya. Tapi belum ada pelanggan yang menelfon karena
bibirnya masih terlihat diam, tidak seperti sedang berbicara. Kucoba untuk
menyapa Amin.
“Min…”
“Min…”
“Amin…”
Amin tidak merespon
panggilanku.
Mungkin
dia sedang mendengarkan lagu dengan volume keras sehingga tidak dapat mendengar
panggilanku dengan jelas. “Yasudahlah, mungkin dia tidak ingin mengobrol.”
pikirku. Setelah itu aku langsung duduk di kursi dan menyalakan komputer.
Setelah itu aku memakai headphone milikku dan mulai online.
Sebelum
memulai kerja aku menengok kearah depan untuk memastikan, karena sekilas kurasa
Amin sudah sadar kalau aku sudah ada di mejaku. Ternyata benar, Amin sedang
melihatku. Aku reflek membalas tatapan itu dengan senyuman, tapi lagi-lagi Amin
tidak merespon. Tatapan Amin saat itu kosong seperti sedang melamun, Amin juga
seakan-akan tidak melihatku yang ada didepannya saat itu.
Mungkin
Amin sedang mengalami masalah hanya saja dia harus tetap menjalankan
kewajibannya di perusahaan. Tapi di sisi lain, aku semakin penasaran dengan
sikap Amin. Aku coba untuk mengirim pesan ke Amin lewat komputer
“Min, lu kenapa?” tanyaku.
Pesan
itu tidak dibalas, bahkan Amin tidak menengok ke arahku. Tidak tahu kenapa,
malam itu kelakuan semua orang-orang kantor terlihat sangat aneh. Hanya saja
aku memang tidak mau mencampuri urusan orang lain dan memilih untuk cuek, siapa
tau itu yang mereka mau.
Aku
mulai bekerja sebagai operator call center. Tiba-tiba,
KRINGGGG…! Bunyi
telepon masuk.
“Halo ada yang bisa dibantu?” Aku
bertanya namun tidak ada jawaban.
“Halo?” Seorang
pria menjawab dengan suara pelan.
Aku bertanya sekali lagi, “Iya?
Ada yang bisa dibantu pak?”
“Bener bisa bantu saya?”
jawabnya. Aku pun menjawab, “Iya pak, masalahnya apa?”
“Tolong” Ia
menjawab dengan suara lirih. “Tolong apa Pak?” sambungku.
Ia menjawab lagi, “Tolong
lepasin,” Aku bertanya dengan heran “dilepas?”
“Tolong lepasin tali pocong
saya.” Aku
reflek menjawab, “Astagfirullah”
“Hahaha kena deh! Selamat ya
kena prank” Aku sontak kaget.
“Gila,
jaman gini masih ada aja yang ngeprank, katrok!” ucapku dengan kesal.
“Enaknya diapain nih min?” Aku menengok kearah Amin tapi dia sudah tidak ada.
“Apa dia ke WC ya?” pikirku. Tadinya aku ingin menyusul Amin ke WC namun
tiba-tiba telepon berdering.
KRINGGGG…!
“Halo ada yang bisa dibantu?” tanyaku.
“Halo, internet saya mati
nih.” telepon dijawab oleh seorang pria.
Telepon
demi telepon terus aku layani sampai akhirnya tidak terasa jam sudah
menunjukkan pukul 01.00 malam. Saatnya santai, jarang ada orang yang menelepon
lewat dari jam 01.00 malam. Iseng kulihat ke sebrang meja, sepertinya Amin
sudah istirahat lebih dulu, dia tertidur pulas. Aku mundurkan sedikit tempat
dudukku, meluruskan kakiku setelah berjam-jam ditekuk. Rasanya sangat nyaman,
seolah-olah meja itu memiliki pijakan kaki. Tak berselang beberapa detik aku
mendapatkan posisi nyaman, namun telepon di mejaku berdering kembali.
KRINGGGG…!
“Yaelah
malem-malem gini ada aja.” Aku menggerutu. Telepon ini datang di saat yang
tidak tepat. Namun sebagai profesional, aku harus tetap menjawab telepon itu.
Tapi aku tidak mengubah posisi duduk yang nyaman itu. Aku duduk sambil menjawab
telepon itu.
“Halo, ada yang bisa dibantu?”
tanyaku.
“H-Halo?” jawab
seorang wanita dengan suara yang lirih.
Aku kembali bertanya “Ada
yang bisa saya bantu bu?”
“Bisa tolong saya?” Akupun
menjawab “Bisa, saya bisa bantu apa?”
Wanita itu menjawab dengan
suara yang gemetar, “Saya gak bisa gerak.”
Saat
itu perasaanku mengatakan itu hanya penelepon jail yang kurang kerjaan seperti
penelepon pertama tadi. Setidaknya, itu yang ada di pikiranku waktu itu. Tapi
sesuai SOP, aku tidak boleh menutup telepon terlebih dahulu. Selintas, suara
itu memang membuat bulu kudukku berdiri. Padahal pikiranku yakin bahwa itu
hanya penelepon yang jail.
Tidak
tahu mengapa, badanku tidak sejalan dengan pikiranku. Aku merinding mendengar
suara wanita itu, karena merinding ku ubah posisi dudukku seperti posisi duduk
normal saat aku bekerja. Akupun kembali berbicara melalui telepon itu.
“B-Bu m-maaf. Apabila tidak
ada keluhan atau hal lain yang bisa saya bantu, telepon ini akan saya putus.
Sekali lagi, apa yang bisa saya bantu?”
Wanita itu menjawab “Saya
gak bisa gerak… ANGKAT KAKIMU DARI KEPALAKU!”
Sontak
aku langsung melihat ke bawah meja, ternyata kakiku memang sedang menginjak
kepala wanita. Hanya kepala. Muka wanita itu tidak terlihat jelas karena tertutup
rambut yang hitam, panjang, dan lusuh. Rambut itu berantakan dan berhamburan
dimana-mana sampai keluar dari batas meja kerja.
Aku
berteriak dan memundurkan bangku. Aku berdiri dan berlari sambil teriak-teriak
ke arah Amin “Min, bangun. Ada setan Min.” Tetapi saat aku menengok ketempat
Amin tertidur tadi, dia sudah tidak ada ditempatnya. Akhirnya aku lari secepat
kilat ke arah lift. Sembari menunggu lift aku menelepon Amin, takut dia
tertinggal di WC.
Tut.. Tut.. Tut.. Bunyi
telepon tersambung.
“Halo?” Amin menjawab.
“Min? Lu dimana Min? Cepetan
pergi! Ada setan!”
Amin menjawab dengan bingung “Hah?
Dimana?”
“Di kantor Min, lu di WC ya?
Ayo gue tungguin di lift.” Jawabku.
“Di kantor? Ngapain? Sekarang
kan Sabtu.” Kata Amin.
Aku marah sambil berkata, “Minggu
kali, ngaco lu.”
“Sabtu, orang daritadi gue di
kosan.”
Aku menjawab dengan penasaran “Lah
terus tadi siapa?”
Aku
melihat di dalam lift ada Amin. Matanya menatap tajam, lalu berjalan kearahku.
Ketika pundak kita saling berpapasan, ia berbisik di kupingku. “Udah ketahuan
ya?” suaranya lirih. Aku langsung lompat ke dalam lift dan menekan tombol tutup
berkali-kali. Pintu lift tertutup perlahan, dari dalam lift aku sedikit melihat
keluar Amin tersenyum menyeringai kearahku.
Sesampainya
di lobby, aku langsung berlari keluar gedung itu untuk minta pertolongan dari
kedua satpam yang sedang berjaga tadi. “Pak Satpam, tolong, tolong pak.” ucapku
sambil bernafas berat. Anehnya, tidak ada seorangpun di pos itu. Pos itu
kosong, gelap, dan terkunci.
“Ada yang bisa dibantu?” Aku
kaget. Satpam itu muncul dari belakang.
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya
satpam itu sekali lagi.
“Jadi
gini pak, diatas…” Aku teringat apa yang Amin katakan tadi di telepon kalau ini
hari Sabtu. Kantor memang libur setiap hari Sabtu, tidak ada yang bekerja walau
untuk lembur sekalipun. Bahkan satpam pun diliburkan. “Waduh, ini satpam
darimana dong?” ucapku dalam hati.
Tiba-tiba satpam itu bertanya
“Kok diem? Apa masnya mau bantu saya?”
“B-bantu apa Pak?” ucapku
gemetar.
“Bantu lepasin tali pocong
teman saya yang ada di belakang Bapak.”
Aku
langsung menengok ke belakang, ada satpam yang berwujud pocong. Tali pocongnya
berantakan. Sontak aku berlari berusaha meninggalkan gedung kantor. Saat aku
menengok kebelakang ada dua pocong dengan muka hancur dan satu kuntilanak yang
menertawaiku. Akhirnya, aku menemukan warung kopi di dekat lokasi kantor.
Sambil terengah-engah aku masuk ke dalam warung lalu duduk dan menenangkan
diri.
“Mau mesen apa Mas?” tanya
pemilik warung.
“Itu… mau…” sambil
terengah-engah.
Pemilik warung menjawab,
“Jangan takut mas, saya orang kok.”
“Masnya habis digangguin ya?” tanyanya.
“Kok tahu?” jawabku.
“Soalnya Masnya lari-lari
keluar dari gedung kantor itu. Biasanya setiap sabtu malam atau minggu dini
hari, ada aja orang yang ketakutan keluar dari gedung itu terus istirahat
disini.” jelas pemilik warung.
“Hah? Setiap sabtu?” nafasku
masih terengah-engah.
Lalu
pemilik warung menjelaskan, “Denger-denger dulu di gedung itu ada karyawan wanita
yang bunuh diri, loncat dari atas gedung pas lembur di hari Sabtu gara-gara gak
kuat sama tekanan pekerjaan. Nah gak lama dari itu juga, ada dua karyawan cowok
yang pulang kerja bareng sehabis lembur. Di tengah jalan, mereka kecelakaan.
Tubuh mereka terlindas truk tanah yang lagi lalu lalang waktu itu.”
“Pantes
kantor selalu diliburin setiap hari Sabtu,” kataku dalam hati. Aku pun menceritakan
kronologi kejadian kepada pemilik warung. Rasa penasaranku pun muncul dan
bertanya pada pemilik warung, “Memang sudah berapa orang pak yang lari kesini
dan mengalami hal kayak saya gini?” tanyaku. “Wah udah banyak Mas, mungkin
Masnya ini udah orang kesepuluh yang kesini.”
Sebenarnya
desas-desus mengenai kejadian mistis di gedung kantor sudah ada dari sejak
lama. Rekan kerjaku sering bercerita mengenai kejadian-kejadian aneh yang
terjadi di kantor. Namun karena aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, aku
seringkali mengabaikan pembicaraan itu. Aku tidak menyangka kalau aku akan
mengalaminya sendiri secara langsung dan melihat sosok itu di depan mataku.
Pemilik
warung kembali bercerita mengenai kejadian yang pernah terjadi sebelumnya “Mas
masih mending bisa lari kesini mas, waktu itu ada orang yang sampe pingsan
semalaman di gedung itu. Paginya dia ditemuin sama OB yang lagi mau
bersih-bersih. Orang itu sampe resign Mas dan gak berani lewat sini lagi.
Katanya dia ditampakin pocong didepan matanya eh udah gitu diketawain pula sama
mbak kunti.”
“Ya ampun, serem banget ya.
Mas memang gak takut Mas?
“Mau bagaimana lagi Mas,
namanya juga cari uang. Lagian ngapain takut kan yang di gedung itu temen
saya.”
Tiba-tiba pemilik warung
berubah jadi pocong dan hilang menjadi asap.
-
THE END –
Written By : Vriska Prisilia
0 Response to "Lembur"
Posting Komentar