Selir Hati
Selir Hati
Langit hari ini cerah, musim panas tahun ini tampaknya akan membuahkan hasil
panen yang berlimpah. Panasnya menyeruak ke dalam kulit, sinar Suryanya
menyilaukan mata.
"Haduh, haus
banget gue. Beli minuman yuk?!" ajaknya menarik tangan sang objek. Dia tak
menolak, membiarkan dirinya ditarik oleh gadis itu. Sementara gadis itu, dia
mengibaskan tangan yang satunya. Keringat bercucuran di pelipisnya, sesekali
dia mengusap air garam yang berkumpul di dahinya, dan mengibaskan tangannya
berulang-ulang.
"Ini kita lagi
ada di dalem tangki air apa?! Panas banget gila!" Dia melepaskan
genggamannya, beralih mengambil uang kertas berwarna ungu untuk membeli
beberapa minuman dingin.
"Sejak kapan
tangki air bisa panas? Setau gue, yang panas itu tungku air," ucap pria
itu mengejeknya. Dia tersenyum, alisnya terangkat. Ia sadar, gadis itu sudah
menekuk wajah manisnya seperti koran bekas.
"Sama aja!"
tukasnya menghentakkan kaki. Pria itu hanya geleng-geleng kepala dan menerima
minuman yang ia berikan.
Tring!
Ponselnya berdering,
membuat kedua pasang mata beralih pada benda pipih itu. Karena tak ingin gadis
itu melihat apa yang terjadi pada ponselnya, dia buru-buru mengangkat dan
membalas pesan itu.
"Siapa Gib?"
tanya gadis itu dengan bingung. Gibran menoleh, dia menaruh kembali benda pipih
itu di sakunya. "Nolis, Jan. Dia ngajak gue makan di kafe," ucap
Gibran tersenyum rekah. Dia merogoh saku, mengambil kunci motor dan berpamitan
pada Jani.
"Gue duluan ya!
Dia udah nunggu. Nanti aja gue ganti duit buat minumnya. Makasih!" ucap Gibran
melambaikan tangan. Gibran berlari menuju parkiran motor dengan tergesa. Jani
tersenyum tipis, dia membalas lambaian tangannya.
Disaat Gibran sudah
tak lagi terlihat oleh matanya, dia menurunkan lengkungan senyum di wajahnya.
Menunduk, memandangi sepatu yang setiap ganti tahun pasti dia ganti.
"Kenapa lo
bahagia banget bareng dia?"
•~•
"Udah nunggu
lama?" tanya Gibran yang baru saja duduk. Nolis mendongak, dia tersenyum
kecut.
"Gak kok,"
katanya menggeleng. Dia menaruh HP-nya di tas, dan menatap Gibran. "Kamu
habis main sama Jani ya?"
"Iya,"
ujarnya membuka buku menu. Melihat-lihat setiap inci apa saja yang tersedia di
tempat makan tersebut. "Mau pesen apa?" imbuh Gibran. Nolis hanya
acuh tak menanggapi saat ditanya begitu.
"Sayang, mau
makan apa?" tanyanya sekali lagi. Nolis mengalihkan pandangan, pura-pura
tak mendengar Gibran.
"Kamu marah aku
main sama Jani?" tanya Gibran lagi. Sudah yang ketiga kalinya dia bertanya
namun yang dia dapat hanya senyum kecut dan sikap acuh dari Nolis.
"Aku udah bilang berapa
kali sih sama kamu? Aku gak suka kamu deket-deket sama dia!" bentak Nolis
seraya memukul meja, dia menunjukkan mata birunya yang lebar pada Gibran.
Sedangkan Gibran hanya tertawa melihat Nolis yang sedang merajuk.
"Apaan sih
ketawa-ketawa?! Lucu gitu?" Nolis melipat kedua tangannya di dada, dia
mengalihkan pandangannya pada hal lain, baginya Gibran menyebalkan. Dia tak mau
memandang pria itu.
"Aku 'kan sama
Jani sahabat dari kecil. Kamu cemburu aku main sama temen aku?"
Nolis tak menjawab,
dia masih dalam posisinya. Namun saat dia melihat seseorang yang membuka pintu
kafe mulai masuk, dia mengalihkan pandangannya pada Gibran.
"Gak dong! Kamu
'kan pacar aku. Sayangnya cuma sama aku. Ya, kan?" Nolis tersenyum seraya
menggenggam tangan Gibran. Sedangkan Gibran kebingungan. Mengapa tiba-tiba
Nolis tidak ngambek lagi?
"Gibran!"
panggilnya menghampiri meja Gibran dan Nolis. Mereka menoleh pada sumber suara.
"Jani? Ada apa
Jan?" tanya Gibran padanya. Melihat ada Jani yang tiba-tiba datang, Nolis
tersenyum menyeringai sambil terus menggenggam tangan Gibran.
Jani hanya tersenyum
kecut melihatnya, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya.
"Powerbank lo, ketinggalan."
Gibran mengambil
powerbanknya. "Makasih," ucap Gibran tersenyum. "Mau makan dulu?
Bareng gue sama Nolis," sambung Gibran menawari.
Jani beralih pandangan
pada Nolis, dia ingin sekali menerima ajakan Gibran namun melihat tatapan
Nolis, Jani mengurungkan niatnya.
"Jani pasti sibuk
Gib. Tugas kuliah banyak ya, Jan?" ucap Nolis menyunggingkan senyumnya.
Jani hanya mengangguk, hatinya sakit melihat tangan mereka yang masih menyatu.
"Oh gitu. Yaudah,
lo pulangnya gue pesenin ojek. ya?" tawar Gibran. Dia melepaskan genggaman
Nolis, mengambil ponselnya untuk memesan ojek.
"Makasih
Gib."
Nolis berdecak, dia
memandangnya sinis. Nolis tak suka jika Gibran perhatian pada orang lain.
Apalagi pada Jani, dia dari dulu membencinya. Karena selalu menempel pada
Gibran dengan embel-embel 'sahabat kecil'.
Jani meneguk
salivanya, tatapan Nolis sungguh mengintimidasi dirinya. Jika lama-lama
menatapnya, mungkin dirinya sudah tidak memiliki bulu di badan karena sangking
merindingnya.
"Udah sampai ojek
nya. Ada di depan," ujar Gibran pada Jani. Jani mengangguk, dia tersenyum.
"Terima kasih."
"gue bayarin lewat
aplikasinya. Anggep aja bayar utang beli minum tadi," sahut Gibran seraya
menunjukkan deretan giginya. Jani berlalu dari sana. Meninggalkan Gibran dengan
senyum manisnya, dan Nolis ... Dengan perasaan merindingnya.
Nolis mendengus, di
mengumpat dan merutuki Jani di dalam hatinya. "Caper amat si. Cewek gatel."
"Lis, kamu mau
apa?" tanya Gibran untuk yang kesekian kalinya. Nolis berdecak, dia
membuang nafasnya kasar. "Kentang goreng, latte, dan kamu."
Gibran tertawa renyah
mendengar ucapan Nolis barusan. Gibran menyunggingkan senyum dan menopang
dagunya. "Aku 'kan udah jadi milik kamu."
"Tapi hati kamu terikat sama dia."
"Kata mamah, setiap kita di hadapkan dengan masalah, maka
solusinya adalah menyingkirkan masalah itu."
"Kalo aku bikin kamu sama dia gak deket lagi, boleh
kan?"
“Hello??? Are you okay dear?” tanya Gibran seraya
menggoyangkan bahu Nolis. Nolis berdecak, entah apa yang dipikirkannya sangat
tidak masuk akal, namun disisi lain dirinya sebal. Kenapa Gibran sangat dekat
dengan sahabat perempuannya dibandingkan dengan dia?
Pada point of view Jani, ia merasa
bingung kepada Gibran. Mengapa dirinya begitu peduli padanya layaknya seorang
laki-laki yang menyayangi kekasihnya. Apakah dirinya terlihat gampangan
sehingga mudah untuk dibodohi? Atau Gibran hanya bercanda dan hanya sekedar
peduli? Atau Jani baperan??? Tidak
ada yang mengetahui betul tentang perasaan sebenarnya dari Gibran. Dua wanita
dibuatnya bingung, tidak bermaksud seperti itu namun tidak tahu pula cara yang
benar dalam menunjukan maksudnya. Sungguh Gibran sepertinya butuh mentor untuk
belajar memahami perasaan orang lain. Atau apakah dirinya sebenarnya sudah
belajar hal itu?? Namun tidak ada yang tahu tentang dirinya yang sudah
mati-matian berusaha dalam memahami perasaan semua orang.
“Kok kuping gue gatel ya? Apa ada orang yang
ngomongin gue di belakang?”
“Gue kenapa ya?”
Gibran berdalih pada
ponsel nya yang berdering 3 kali. Notifikasi handphonenya dipenuhi oleh pesan
dari seseorang yang mulai menaburkan banyak pesan. Pop up notifikasi menunjukan
nama Arta. Ibunya adalah seorang psikolog, namun dirinya tidak tahu bahwa
putranya sedang dihadapi oleh perasaan bingung yang mengganggu simpati nya.
“Apa gue konsul ke psikolog aja kali ya?”
“Tapi yang gila bukan
gue sih.”
Tidak. Gibran salah,
dirinya memang tidak gila, tapi persepsi tentang psikolog nya yang salah.
“Jani atau Nolis ya? Siapa yang suka pisang goreng diantara mereka?”
0 Response to "Selir Hati"
Posting Komentar